Teman Atau Lawan...

Teman Atau Lawan...

Teman Atau Lawan...

Terasa hariku tak pernah dipenuhi dengan namanya kasih sayang yang tulus. Mereka hanya memanfaatkan apa yang aku miliki. Aku tau dan aku pun sangat mengertikan hal itu. Tak ada seorang pun yang mengerti akan apa yang aku rasakan, apa yang aku fikirkan tak seperti apa yang mereka katakan, ya aku pun paham akan hal itu. Gelak tawa seakan tak bisa mengoyahkan hatiku, aku melihat dari balik pepohonan apa yang tengah mereka ucapkan, aku hanya bisa tersenyum mendengar apa yang mereka katakan tentang diriku.

“Buat apa sih loe kemari?” Aku tak pernah mengerti mengapa sikap Sarah berubah begitu saja padaku, dia seakan tak mengenali adanya aku di dekatnya. Mungkin karena aku ini tak ia anggap lagi. Aku terdiam dan memandang sebelah mata dan segera meninggalkan dirinya bersama dengan sahabat barunya.

Di tengah situasi hatiku yang kacau datanglah seseorang yang tak pernah sekali pun aku anggap, ya aku sangat amat menyadari bahwa aku ini terlalu cuek bahkan tak mengertikan perasaannya. Dia selalu membuatku marah, kesal, jengkel. Tapi dia juga sering ada saat aku tak ada tempat bersandar. Seperti saat ini. Dia memandangku seraya melemparkan senyuman tulusnya.

“Kesal ya. Hidup itu harus dibuat santai. Aku tau kamu pasti kesal kan! Karena Sarah telah menjauhimu begitu juga teman-temanmu yang lain, benar kan? Sudahlah jangan diambil pusing. Mereka semua itu sama. Hanya mementingkan dirinya masing-masing. 

Kenapa aku jadi curhat sama kamu ya?” Tanya dia dengan senyuman yang sama.

“Nggak apa-apa kok. Kamu memang benar Do”

“Benar? Benar apaan?” Tanyanya seraya mengerutkan dahinya.

“Aldo aku tau kok, teman-teman kita itu hanya suka dan hanya suka melihat teman-teman 
yang lainnya menderita. Aku juga tau kok apa pentingnya sih diriku bagi mereka? Tidaklah penting. Itulah jawaban seharusnya.” Aku tertunduk dan menatap ke bawah.

“Kita itu sama Wa! Tidak ada yang memahami dan mengerti, tapi maaf ya sebelumnya,”
Aku segera memandanginya, “maaf kenapa? Dan kenapa harus meminta maaf padaku?”
“Karena aku banyak salah sama kamu, kamu memang benar. Kamu telah menyadarkan aku apa pentingnya sahabat. Sahabat yang benar-benar menyayangi kita itu ternyata sulit dicari. Saat mereka membutuhkan kita mereka datang dan saat kita memburuhkan mereka mereka pergi begitu saja. Ternyata sakit juga seperti itu” terangnya seraya memalingkan wajahnya. “Tapi tidak apa-apa karena aku sekarang menjadi tau siapa yang teman dan siapa yang lawan.”

“Sekarang kamu sendirian ya? Ke mana teman-teman kamu?”

“Mereka pergi,” jawab Aldo singkat.

“Loe, bagi kami itu sampah. Ya kenapa! Kaget? Em… inilah kami, kamu terlalu bodoh untuk kami tipu dan kamu terlalu percaya akan apa yang kita ucapkan.”

“Begitulah mereka,” terangnya dengan nada yang sedikit turun.

“Tapi aku bahagia kok ternyata masih ada teman yang mau berteman sama aku tanpa memandang apa yang saat ini kumiliki.”

“Kamu bicara tentang siapa?”

“Kamu?”

“Aku?” Aku menunjuk diriku sendiri.

“Iya kamu, kita bukan musuh, aku yang terlalu membencimu.”

“Begitu pun diriku, aku yang terlalu dalam mengecap dirimu sebagai musuhku. Tapi setelah aku lihat dan kuperhatikan kamu ternyata beda. Tak seperti yang mereka kira.”

“Biarkanlah mereka membicarakan apa yang mereka inginkan. Tapi apakah mereka sendiri tau apa yang mereka katakan itu benar ataukah salah! Tak ada yang taukan selain mereka sendiri?”

“Kamu benar!”

“Jadi gimana! Kita teman apa musuh?” Tanya Aldo dengan menyipitkan kedua bola matanya.

“Teman.”
Previous
Next Post »
0 Komentar